Kamis, 18 Oktober 2012

Trend Periklanan – Beralih ke Media Digital

Tahun depan marketer harus bijak menggelontorkan dana advertising. Selain karena pemilu, juga lantaran imbas krisis finansial global. Hijrah ke media digital menjadi alternatif.

Kondisi krisis keuangan global berdampak ke semua lini kehidupan bisnis. Salah satunya pada dunia periklanan. Mau tidak mau, dengan kondisi mata uang rupiah yang anjlok terhadap dolar, para marketer harus bisa bijak dalam mengelola anggaran belanja promosi dan iklannya. Hal ini dikatakan oleh pengamat periklanan Irfan Ramli.

“Kondisi ini yang terus berlanjut di tahun depan ini akan mengubah strategi periklanan. Ini akan terasa di kota-kota besar. Tren yang akan muncul tahun depan adalah penggunaan digital medium yang berbasis internet,” katanya.

Dengan kata lain, belanja iklan berbasis media cetak akan mengalami penurunan. Namun, Irfan belum bisa memperkirakan berapa porsi perbandingan belanja media iklan fisik dengan media digital.  Media digital ini meliputi berbagai situs, blog, dan jejaring sosial lainnya. “Kita bisa belajar dari China. Negeri ini selama tiga tahun terakhir sudah menggunakan digital medium sebesar 16% dari total porsi iklan.”

Irfan mengatakan dalam meneropong kondisi periklanan pada tahun 2009, tidak boleh dilepaskan dari evaluasi kondisi belanja iklan tahun ini. Menurut survei Nielsen Media Research Indonesia, pada semester I tahun 2008, belanja iklan hotline service, party line, dan ramalan bintang meroket. Lonjakannya bisa mencapai angka 81% dibandingkan dengan semester I tahun 2007. Bila diuangkan, belanja iklan SMS ini mencapai Rp 556 miliar. Padahal tahun 2007 cuma sebesar Rp 307 miliar.

Angka ini mampu mendongkrak total belanja iklan pada semester I tahun 2008 sebesar Rp 19, 56 triliun, yang artinya tumbuh 24% dibandingkan tahun sebelumnya. “Iklan model ini naik karena masyarakat Indonesia senang dengan hiburan-hiburan macam itu. Tahun ini juga ada kejuaraan Piala Eropa 2008 di mana SMS tebak skor dan berbagai gimmick-nya cukup besar,” papar Irfan.

Dari Top 10 kategori di seluruh media berdasar riset Nielsen, belanja iklan terbesar dari Januari-September 2008 ada di kategori komunikasi, yaitu sebesar Rp 3,4 triliun. Perolehan ini naik 75% dari tahun 2007 pada kuartal yang sama. Urutan kedua dipegang oleh pemerintah dan partai politik dengan angka Rp 1,3 triliun. Disusul iklan kendaraan dan iklan perusahaan. Dari total biaya iklan komunikasi itu, merek Excelcomindo (XL) menempati urutan tertinggi dengan belanja iklan sebesar Rp 301, 1 miliar yang naik 325% dari tahun lalu (lihat tabel).
Dari keseluruhan itu, total belanja iklan di televisi sebesar Rp 19, 6 triliun (naik 16%), surat kabar sebesar Rp 10,5 triliun (naik 34%), majalah dan tabloid sebesar Rp 1,2 triliun (naik 26%).

Iklan televisi, menurut Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) ini, masih mendominasi. Meski demikian jumlahnya tidak sebesar dua tahun terakhir ini. Nasib yang sama juga akan dialami oleh print ad.  Termasuk iklan bilboard, iklan outdoor dan indoor lainnya. “Lima sampai enam tahun ke depan, di mana era paperless semakin terasa, iklan model ini tentu akan mengalami penurunan. Tapi, bukan sekarang ini,” katanya.

Dalam kondisi krisis ini, para rumah produksi dan prinsipal, akan lebih hati-hati dalam melangsungkan relasi B-to-B mereka. “Klien akan lebih hati-hati dalam berhitung. Cost sebisa mungkin harus mengena target yang mau dicapai. Bijaksana menggunakan anggaran menjadi sangat penting,” imbuh Irfan.

Tahun 2009 merupakan tahun istimewa karena ada pemilu calon presiden. Irfan mengatakan iklan pemerintah dan partai-partai politik akan meramaikan tahun ini. Kemungkinan akan ada kenaikan anggaran di semester II tahun 2008 ini. Asal tahu saja, belanja iklan parpol dan pemerintah pada tahun 2004 sebesar Rp 400 miliar. Sampai bulan lalu, belanja iklan buat Pemilu 2009 sudah mencapai Rp 800 miliar. Angka ini tentu saja akan terus bertambah.

“Sebenarnya, tahun depan sungguh menarik. Saat dunia sedang dilanda krisis keuangan global, negeri kita sedang melaksanakan hajatan pemilu. Tentu hajatan ini juga membutuhkan biaya yang tidak kecil. Kita lihat saja nanti bagaimana partai politik mengelola anggaran tersebut,” katanya.

Irfan sendiri mengharapkan kompetisi iklan parpol ini tetap menjaga etika pariwara Indonesia dan situasi yang positif. Dalam situasi seperti ini, menurut Irfan, dibutuhkan prediksi keuangan yang mendekati tepat. Kalau salah langkah dan perhitungan, akibatnya bisa fatal.

“Apalagi fluktuasi dolar naik turun. Bahkan, siapa mengira krisis ini akan bersamaan dengan pemilu. Tahun depan, imbasnya pasti masih terasa,” ujarnya.

Akan tetapi, Irfan masih merasa optimistis dengan kondisi sekarang. Baginya, krisis sekarang tidak akan parah seperti krisis di tahun 1998. Oleh karena itu, ada beberapa strategi yang mesti dilakukan untuk menyongsong tahun 2009. “Yang pertama, kita harus pandai dalam membaca pasar dengan cermat. Perlu melihat celah di mana kita bisa mengelola itu semua dengan efisien,” saran Irfan.

Selain itu, perlu upaya keras untuk semakin mendekatkan diri pada target pasar dengan multi-cara.  Dan, yang tidak diperbolehkan, menurut Irfan, yakni berhenti beriklan. “Jangan pernah berhenti beriklan saat krisis. Entah dengan cara apa pun yang lebih efisien. Ini akan menyelamatkan brand yang sudah ada dan dikenal di masyarakat. Ini bukan ajakan untuk habis-habisan,” tandasnya. (Sigit Kurniawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar