www.marketing.co.id
– “Dalam industri yang semakin modern dan maju, sangatlah mubazir jika
kita berpikir kreatif dan orisinal, tetapi kita tidak bisa menjual apa
yang kita ciptakan” (David Ogilvy, pakar periklanan global dan pendiri
Ogilvy & Mather).
Meski mulai dipertanyakan efektivitasnya,
iklan masih tetap dibutuhkan konsumen, terlebih lagi bagi perusahaan.
Melalui iklanlah konsumen biasanya mengenal suatu produk dan tergerak
untuk melakukan pembelian. Sementara bagi perusahaan, iklan dinilai
menjadi corong yang efektif untuk memengaruhi masyarakat agar berpikir
dan bertindak sesuai pesan yang disampaikan dalam iklan.
Nasihat yang diucapkan oleh begawan
periklanan di atas menjadi peringatan bagi semua pelaku industri agar
tidak terlena pada kreativitas dan orisinalitas semata. Sebab, bagaimana
pun tujuan dari sebuah unit usaha adalah menciptakan konsumen loyal
sebanyak-banyaknya. Intinya sebuah merek atau produk harus dikenal dan
laku di pasaran.
Laris atau laku sudah menjadi “mantra”
bagi dunia usaha di tengah persaingan yang makin mengganas. Untuk
mencapainya perusahaan harus rela menggelontorkan biaya yang tidak
sedikit untuk beriklan. Iklan pun mesti dikemas sekreatif mungkin agar
menarik perhatian konsumen. Harapannya iklan akan menancap kuat di benak
konsumen, sehingga ketika mereka akan membeli suatu produk, merek
tersebutlah yang paling diingat.
Masalah muncul ketika penjualan tak
kunjung naik, padahal masyarakat sudah sangat mengenal merek tersebut
karena iklannya sangat kreatif dan menghibur. Penetrasi iklan yang
demikian dahsyat ternyata tidak menghasilkan lonjakan penjualan. Padahal
perusahaan sudah mengeluarkan uang banyak untuk beriklan.
Mungkin kita masih ingat iklan rokok Long Beach yang ditayangkan di beberapa TV swasta akhir tahun 1999 lalu. Iklan itu sangat memorable, karena
visualisasinya sangat lucu dan mengibur. Iklan ini diawali dengan
cuplikan pemandangan pantai di mana seorang wanita sedang berjemur di
terik matahari. Seorang pria dengan wajah blo’on menghampiri, kemudian si pria mengoles telapak tangannya untuk memijat punggung wanita yang seksi itu.
Dengan segala kenikmatan yang tampak di
wajahnya, pria ini mulai merasakan kehalusan punggung wanita yang
dipijatnya. Fantasi ini buyar setelah beberapa rekan kerjanya menemukan
dia dalam keadaan melamun saat menguleni adonan pizza. Dengan wajah
penuh malu, pembuat pizza ini menyadari bahwa dia menjadi pusat
perhatian rekan kerjanya karena melamun.
Iklan tersebut menyabet empat penghargaan
dalam Citra Pariwara tahun 1999 dan menjadi finalis di ajang The New
York Festival. Hal ini menjadi bukti pencapaian kreativitas dan artistik
iklan Long Beach. Iklan kocak tersebut memang mampu meningkatkan brand awareness
rokok Long Beach. Namun dari sisi penjualan, rokok tersebut kurang
berhasil, bahkan saat ini tidak terdengar lagi kabar rokok tersebut.
Mengapa sebuah merek bisa gagal di pasaran, padahal sudah gencar beriklan? Menurut pengamat periklanan dan Ketua Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) DKI Jakarta, Irfan Ramli, hal tersebut seharusnya tidak terjadi andaikata iklan dibuat berdasarkan hasil riset yang memadai.
Lebih jauh ia menilai, sebuah merek bisa
saja gagal di pasar padahal semua syarat sudah terpenuhi. Penyebabnya
bisa saja pada segmentasi yang terlalu lebar, sehingga produk menjadi
tidak fokus. Ia menegaskan pentingnya melakukan riset pemasaran sebelum
meluncurkan sebuah iklan. Sehingga kreativitas yang dibangun bukan
berdasarkan intuisi belaka, melainkan berangkat dari data yang akurat.
Hal ini pun dilakukan oleh Dwi Sapta yang
sudah 30 tahun bergelut dengan industri periklanan. Sebelum meluncurkan
sebuah iklan, Dwi Sapta selalu melakukan riset. Melalui riset ini Dwi
Sapta bisa memperoleh gambaran yang utuh mengenai tanggapan konsumen
terhadap produk yang bakal diiklankan.
Idealnya iklan memang mesti mengerek
penjualan, karena itu, menurut Adji Watono, President Director Dwi
Sapta Group, sebuah pesan iklan mesti menimbulkan impulse atau
dorongan untuk membeli bagi konsumen. Itu artinya, iklan harus jelas,
mudah dipahami, dan menawarkan solusi. Ia merujuk pada kasus iklan Adem
Sari, iklannya sangat sederhana dan mudah dipahami banyak orang.
Sebuah
iklan mesti menginformasikan keunikan dan keunggulan sebuah produk
dibandingkan kompetitor. Iklan seperti ini, menurut Andy Gusena, CEO
Endee Communication, berpotensi melambungkan penjualan suatu produk,
dengan catatan, pesan dikemas sedemikian rupa sehingga akan menyentuh
sisi rasional dan emosional konsumen. Karena itu pesan harus orisinal
dan eye catching secara visual.
Dia menambahkan, nama merek yang
berkaitan langsung dengan fungsi atau manfaat yang ditawarkan suatu
merek akan lebih mudah menancap di benak konsumen. Misalnya nama brand “SANAFLU” sebagai pengusir sakit flu atau nama brand
“LELAP” sebagai obat bagi orang yang susah tidur. Jangan lupa, iklan
juga mesti menghibur, jangan datar-datar saja, agar iklan mudah diingat
oleh konsumen sekaligus menjadi faktor pembeda dibandingkan iklan
kompetitor.
Sebagaimana dijelaskan Irfan, tujuan
sebuah iklan tidak selalu untuk mendorong penjualan. Bisa saja iklan
dibuat untuk membangun image suatu korporat, atau awareness suatu produk. Seperti yang dilakukan oleh Astra Daihatsu Motor yang lebih menekankan pembentukan image
secara korporat. Menurut Rokky Irvayandi, Head of Promotion Department
PT Astra Daihatsu Motor, iklan Daihatsu digarap dengan matang. Diawali
dengan penentuan strategi marketing, yakni segmentation, targeting, dan positioning.
Sebelum meluncurkan iklan, Daihatsu juga
melakukan survei konsumen terkait segmen yang dibidik. Hal lain yang
sangat diperhatikan Daihatsu adalah timing yang tepat untuk meluncurkan iklan.
Riset dibutuhkan tidak hanya sebelum
iklan diluncurkan, namun setelah iklan ditayangkan. Daihatsu biasanya
melakukan riset tiga bulan setelah iklan dipublikasikan. Menyangkut
data-data produk, riset dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Jika bicara iklan kreatif di Indonesia,
tantangan paling besar dihadapi oleh industri rokok. Industri rokok
menempati posisi yang unik, di satu sisi pemerintah sangat diuntungkan
dengan cukai rokok; di sisi lain pemerintah menghadapi kelompok-kelompok
yang peduli pada kesehatan. Industri rokok juga tidak bisa leluasa
beriklan, karena pemerintah melarang para produsen beriklan secara
terang-terangan (hard selling).
Mau tidak mau industri rokok mesti memeras otak untuk menelurkan ide-ide kreatif. Nah, bicara iklan rokok yang kreatif, PT HM Sampoerna Tbk berada di garda depan. Sampoerna pernah sukses meluncurkan slogan “How low can you go?” Slogan iklan ini sukses mengedukasi konsumen mengenai rokok low tar low nicotine,
dan rokok Sampoerna meraih sukses di pasar. Iklan ini pun seolah
menjadi standar baru mengenai iklan kreatif rokok, dan diikuti oleh para
kompetitor.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah iklan
yang kreatif akan mampu mendongkrak penjualan? Jawabnya bisa ya, menurut
Irfan, asalkan kreativitas yang dibangun berdasarkan hasil riset yang
kuat dan didukung oleh strategi marketing yang komprehensif.
Membahas iklan kreatif menarik jika
mencermati ungkapan dari mendiang Ogilvy. “Saya tidak beranggapan
bahwa iklan merupakan hiburan atau suatu bentuk seni, tetapi sebagai
media bahasa penyampai informasi. Ketika saya membuat sebuah iklan, saya
tidak ingin Anda mengatakan pada saya bahwa Anda merasa ‘kreatif’.
Tetapi, yang saya inginkan Anda merasa begitu tertarik dan
berpendapat bahwa Anda harus membeli produk.”
(Tony Burhanudin, laporan: Andri Darmawan, Ign. Eko Adiwaluyo, Harry Tanoso, Fisamawati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar