Kamis, 18 Oktober 2012

Iklan Harus Kreatif Sekaligus Menjual


www.marketing.co.id – “Dalam industri yang semakin modern dan maju, sangatlah mubazir jika kita berpikir kreatif dan orisinal, tetapi kita tidak bisa menjual apa yang kita ciptakan” (David Ogilvy, pakar periklanan global dan pendiri Ogilvy & Mather).

Meski mulai dipertanyakan efektivitasnya, iklan masih tetap dibutuhkan konsumen, terlebih lagi bagi perusahaan. Melalui iklanlah konsumen biasanya mengenal suatu produk dan tergerak untuk melakukan pembelian. Sementara bagi perusahaan, iklan dinilai menjadi corong yang efektif untuk memengaruhi masyarakat agar berpikir dan bertindak sesuai pesan yang disampaikan dalam iklan.

Nasihat yang diucapkan oleh begawan periklanan di atas menjadi peringatan bagi semua pelaku industri agar tidak terlena pada kreativitas dan orisinalitas semata. Sebab, bagaimana pun tujuan dari sebuah unit usaha adalah menciptakan konsumen loyal sebanyak-banyaknya. Intinya sebuah merek atau produk harus dikenal dan laku di pasaran.

Laris atau laku sudah menjadi “mantra” bagi dunia usaha di tengah persaingan yang makin mengganas. Untuk mencapainya perusahaan harus rela menggelontorkan biaya yang tidak sedikit untuk beriklan. Iklan pun mesti dikemas sekreatif mungkin agar menarik perhatian konsumen. Harapannya iklan akan menancap kuat di benak konsumen, sehingga ketika mereka akan membeli suatu produk, merek tersebutlah yang paling diingat.

Masalah muncul ketika penjualan tak kunjung naik, padahal masyarakat sudah sangat mengenal merek tersebut karena iklannya sangat kreatif dan menghibur. Penetrasi iklan yang demikian dahsyat ternyata tidak menghasilkan lonjakan penjualan. Padahal perusahaan sudah mengeluarkan uang banyak untuk beriklan.

Mungkin kita masih ingat iklan rokok Long Beach yang ditayangkan di beberapa TV swasta akhir tahun 1999 lalu. Iklan itu sangat memorable, karena visualisasinya sangat lucu dan mengibur. Iklan ini diawali dengan cuplikan pemandangan pantai di mana seorang wanita sedang berjemur di terik matahari. Seorang pria dengan wajah blo’on menghampiri, kemudian si pria mengoles telapak tangannya untuk memijat punggung wanita yang seksi itu.

Dengan segala kenikmatan yang tampak di wajahnya, pria ini mulai merasakan kehalusan punggung wanita yang dipijatnya. Fantasi ini buyar setelah beberapa rekan kerjanya menemukan dia dalam keadaan melamun saat menguleni adonan pizza. Dengan wajah penuh malu, pembuat pizza ini menyadari bahwa dia menjadi pusat perhatian rekan kerjanya karena melamun.

Iklan tersebut menyabet empat penghargaan dalam Citra Pariwara tahun 1999 dan menjadi finalis di ajang The New York Festival. Hal ini menjadi bukti pencapaian kreativitas dan artistik iklan Long Beach. Iklan kocak tersebut memang mampu meningkatkan brand awareness rokok Long Beach. Namun dari sisi penjualan, rokok tersebut kurang berhasil, bahkan saat ini tidak terdengar lagi kabar rokok tersebut.

Mengapa sebuah merek bisa gagal di pasaran, padahal sudah gencar beriklan? Menurut pengamat periklanan dan Ketua Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) DKI Jakarta, Irfan Ramli, hal tersebut seharusnya tidak terjadi andaikata iklan dibuat berdasarkan hasil riset yang memadai.

Lebih jauh ia menilai, sebuah merek bisa saja gagal di pasar padahal semua syarat sudah terpenuhi. Penyebabnya bisa saja pada segmentasi yang terlalu lebar, sehingga produk menjadi tidak fokus. Ia menegaskan pentingnya melakukan riset pemasaran sebelum meluncurkan sebuah iklan. Sehingga kreativitas yang dibangun bukan berdasarkan intuisi belaka, melainkan berangkat dari data yang akurat.

Hal ini pun dilakukan oleh Dwi Sapta yang sudah 30 tahun bergelut dengan industri periklanan. Sebelum meluncurkan sebuah iklan, Dwi Sapta selalu melakukan riset. Melalui riset ini Dwi Sapta bisa memperoleh gambaran yang utuh mengenai tanggapan konsumen terhadap produk yang bakal diiklankan.

Idealnya iklan memang mesti mengerek penjualan, karena itu, menurut  Adji Watono, President Director Dwi Sapta Group, sebuah pesan iklan mesti menimbulkan impulse atau dorongan untuk membeli bagi konsumen. Itu artinya, iklan harus jelas, mudah dipahami, dan menawarkan solusi. Ia merujuk pada kasus iklan Adem Sari, iklannya sangat sederhana dan mudah dipahami banyak orang.
 
Sebuah iklan mesti menginformasikan keunikan dan keunggulan sebuah produk dibandingkan kompetitor. Iklan seperti ini, menurut Andy Gusena, CEO Endee Communication, berpotensi melambungkan penjualan suatu produk, dengan catatan, pesan dikemas sedemikian rupa sehingga akan menyentuh sisi rasional dan emosional konsumen. Karena itu pesan harus orisinal dan eye catching secara visual.

Dia menambahkan, nama merek yang berkaitan langsung dengan fungsi atau manfaat yang ditawarkan suatu merek akan lebih mudah menancap di benak konsumen. Misalnya nama brand “SANAFLU” sebagai pengusir sakit flu atau nama brand “LELAP” sebagai obat bagi orang yang susah tidur. Jangan lupa, iklan juga mesti menghibur, jangan datar-datar saja, agar iklan mudah diingat oleh konsumen sekaligus menjadi faktor pembeda dibandingkan iklan kompetitor.

Sebagaimana dijelaskan Irfan, tujuan sebuah iklan tidak selalu untuk mendorong penjualan. Bisa saja iklan dibuat untuk membangun image suatu korporat, atau awareness suatu produk. Seperti yang dilakukan oleh Astra Daihatsu Motor yang lebih menekankan pembentukan image secara korporat. Menurut Rokky Irvayandi, Head of Promotion Department PT Astra Daihatsu Motor, iklan Daihatsu digarap dengan matang. Diawali dengan penentuan strategi marketing, yakni segmentation, targeting, dan positioning.

Sebelum meluncurkan iklan, Daihatsu juga melakukan survei konsumen terkait segmen yang dibidik. Hal lain yang sangat diperhatikan Daihatsu adalah timing yang tepat untuk meluncurkan iklan.

Riset dibutuhkan tidak hanya sebelum iklan diluncurkan, namun setelah iklan ditayangkan. Daihatsu biasanya melakukan riset tiga bulan setelah iklan dipublikasikan. Menyangkut data-data produk, riset dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

Jika bicara iklan kreatif di Indonesia, tantangan paling besar dihadapi oleh industri rokok. Industri rokok menempati posisi yang unik, di satu sisi pemerintah sangat diuntungkan dengan cukai rokok; di sisi lain pemerintah menghadapi kelompok-kelompok yang peduli pada kesehatan. Industri rokok juga tidak bisa leluasa beriklan, karena pemerintah melarang para produsen beriklan secara terang-terangan (hard selling).

Mau tidak mau industri rokok mesti memeras otak untuk menelurkan ide-ide kreatif. Nah, bicara iklan rokok yang kreatif, PT HM Sampoerna Tbk berada di garda depan. Sampoerna pernah sukses meluncurkan slogan How low can you go?” Slogan iklan ini sukses mengedukasi konsumen mengenai rokok low tar low nicotine, dan rokok Sampoerna meraih sukses di pasar. Iklan ini pun seolah menjadi standar baru mengenai iklan kreatif rokok, dan diikuti oleh para kompetitor.

Kembali ke pertanyaan awal, apakah iklan yang kreatif akan mampu mendongkrak penjualan? Jawabnya bisa ya, menurut Irfan, asalkan kreativitas yang dibangun berdasarkan hasil riset yang kuat dan didukung oleh strategi marketing yang komprehensif.

Membahas iklan kreatif menarik jika mencermati ungkapan dari mendiang Ogilvy. “Saya tidak beranggapan bahwa iklan merupakan hiburan atau suatu bentuk seni, tetapi sebagai media bahasa penyampai informasi. Ketika saya membuat sebuah iklan, saya tidak ingin Anda mengatakan pada saya bahwa Anda merasa ‘kreatif’. Tetapi, yang saya inginkan Anda merasa begitu tertarik dan berpendapat bahwa Anda harus membeli produk.”
(Tony Burhanudin, laporan: Andri Darmawan, Ign. Eko Adiwaluyo, Harry Tanoso, Fisamawati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar