Seorang eksekutif perusahaan multinasional, sebut saja namanya Alya, sedang asyik memilih-milih produk fashion
yang tertata rapi di konter eksklusif di sebuah mal. Bila melihat harga
yang tercantum di banderol, barang yang dipilihnya itu termasuk produk
untuk kelas menengah-atas alias mahal harganya. Tapi, bagi dia, harga
semahal itu bukan masalah. Sebab mereknya terkenal, berkualitas, dan
dari luar negeri pula. Pilihan Alya akhirnya jatuh pada tas wanita merek
Gucci dan kemeja Giorgio Armani untuk suaminya.
Alya bisa jadi merupakan salah satu dari 21.000 orang yang memilih kedua merek tersebut sebagai merek fashion
terkenal dan paling top di dunia. Temuan ini diperoleh berdasarkan
hasil riset AC Nielsen melalui internet tentang keinginan konsumen untuk
membeli sebuah merek fashion. Global Online Survey yang
dilakukan pada Nopember 2005 melaporkan bahwa Giorgio Armani, Gucci, dan
Versace menempati tiga urutan teratas sebagai merek fashion
paling populer. Riset ini berlangsung di 42 negara yang meliputi Eropa,
Asia Pasifik, Uni Emirat Arab (UEA), serta Amerika Utara dan Latin.
Jadi bukan hanya Alya yang punya keinginan membeli merek-merek
terkenal itu, konsumen di belahan dunia lain pun punya minat yang sama.
Disebutkan, ada sepertiga responden yang disurvei lewat internet
menyatakan: jika punya uang, bagi mereka tidak masalah untuk membeli
produk Giorgio Armani atau Gucci. Sementara 12% lainnya menyatakan, saat
ini mereka membeli produk Giorgio Armani dan/atau Gucci; dan 30% lagi
mengatakan tahun depan akan membelinya jika punya dana yang cukup.
Produsen Giorgio Armani dan Gucci paham betul bahwa brand yang kuat bisa membuat bisnis jadi untung. Kedua perusahaan ini tidak saja menjual produk, tapi juga menjual image sehingga konsumen mau membayar dengan harga mahal. Ketatnya persaingan bisnis di produk fashion juga menyadarkan Giorgio Armani akan pentingnya membangun dan memelihara sebuah brand
yang kuat sejak dia mulai bisnisnya 35 tahun yang lalu. Sementara itu,
Tom Ford—CEO yang membangkitkan kembali merek Gucci pada 1990-an—juga
merasakan bahwa menciptakan sebuah merek yang kuat adalah faktor utama
yang membuat Gucci sukses. Kini kedua brand tersebut telah menjadi simbol kualitas bagi konsumen yang ingin memakainya.
Semua konsumen, entah itu yang tinggal di Italia, China atau UEA,
bersedia membeli sebuah tas Gucci atau kemeja Armani dengan harga mahal.
Soalnya, yang mereka beli tidak sekadar produk, namun juga image yang melekat pada kedua produk itu.
Dalam kasus Armani, konsumen tahu bahwa mereka akan mendapatkan produk
yang berkualitas, dan tampil bergengsi jika mereka memakainya. Untuk
Gucci, yang tampak adalah kombinasi warisan antara seksi dan tampilan
yang modern. Meski kedua unsur yang membentuk value brand ini
berbeda dengan Armani, namun kedua merek itu memunculkan tampilan yang
sama secara global. Giorgio Armani dan Gucci sukses memimpin dunia fashion karena mereka ini secara konsisten menjamin value yang akan mengubah budaya konsumen dalam penampilannya.
Di masa mendatang, kelangsungan dalam memimpin di bisnis fashion
adalah tergantung lamanya kekuatan merek untuk bersaing. Maka dari itu,
tidak heran bila perusahaan terus berinvestasi untuk membangun merek
dan berpromosi di pasar potensial seperti Asia, UEA dan Rusia. Seperti
dikatakan oleh Martell, CEO AC Nielsen Eropa, membangun merek yang kuat
serta menciptakan image yang berbeda dari merek lain adalah tantangan paling penting bagi pemilik merek yang ingin masuk ke sebuah pasar yang baru.
Hasil riset global menyebutkan pula bahwa Christian Dior, yang juga sukses membangun kembali mereknya dengan youthful image
dan menjadi pilihan favorit di kalangan anak muda, punya peluang pasar
yang tinggi di kawasan UEA, Rusia, dan Amerika Latin. Begitu pula dengan
Versace. Brand ini berpeluang besar untuk berkembang di pasar
potensial, seperti di China, Rusia dan India. Seperti halnya di Amerika
Serikat, Versace hadir dengan tampilan yang dikombinasikan dengan image kehidupan glamor kaum selebriti.
Saat ini, konsumen yang tinggal di UEA lebih memilih Christian Dior,
Armani, dan Yves Saint Laurent. Namun dari ketiga merek ini, hanya
Giorgio Armani menempati urutan terartas sebagai merek yang ingin dibeli
di masa mendatang. Karenanya, menurut Martell, jika Dior dan Yves Saint
Laurent ingin menumbuhkan market share-nya di UEA dan menggaet
generasi konsumen di masa mendatang, mereka harus melakukan investasi
yang lebih banyak untuk membangun brand.
Di kawasan Asia pun banyak konsumen yang berminat besar untuk membeli
Giorgio Armani, Gucci atau Versace. Di masa mendatang, pembelanja di
India akan memilih Gucci, Giorgio Armani, LV, dan Dior untuk melengkapi
produk fashion-nya. Sementara di China, merek paling populer
adalah Channel dan Versace, kemudian diikuti oleh LV dan Armani.
Bagaimana di Indonesia? Tentunya masih banyak “Alya-Alya” lain, yang
kalau punya uang cukup, pasti berminat untuk membeli merek-merek yang
di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar