Kamis, 18 Oktober 2012

Bermain dengan Simbol yang “Menyimpang”

Beriklan dengan simbol yang “menyimpang” merupakan salah satu cara untuk menunjukkan kekuatan brand. Bagaimana dengan Lee Cooper yang menggunakan gorilla?

Di Israel, minuman berkarbonasi Coca-Cola pernah dikritik habis oleh konsumennya yang berbangsa Yahudi itu. Pemicunya, sebuah iklan yang menggunakan binatang monyet sedang minum Coca-Cola. Produsen ingin menyampaikan bahwa monyet,  sebagai nenek moyang manusia, juga minum Coca-Cola. Sayangnya, pesan itu tidak diterima oleh konsumen di sana. Orang Yahudi merasa tersinggung. Sebagai sebuah bangsa yang mengaku paling unggul dari bangsa-bangsa lain, mereka ogah disebut keturunan monyet. Iklan itu pun kemudian ditarik.

Menurut pengamat pemasaran dari MMUI, Albert Widjaja, Coca-Cola ingin “bermain-main” dengan kekuatan brand-nya. Tetapi, sayangnya, konsumen malah justru marah-marah dan tersinggung dengan simbol iklan tersebut. Lantas, bagaimana dengan Lee Cooper, produk fesyen  yang memakai Gorilla dalam iklannya?

Periode April, Mei dan Juni 2004, brand asal Inggris itu memasang print ad di berbagai majalah dan berbagai in-store dengan menggunakan Gorilla sebagai bintangnya. Sang gorilla yang berdiri menyamping itu memakai celana jins merek Lee Cooper. Gambarnya sangat art, menonjolkan bagian (maaf) pantat Gorilla yang sangat seksi. Pembaca yang melihat iklan itu pun kebanyakan tersenyum. Tapi, apa tidak takut,  konsumen nanti salah persepsi?

Asal tahu saja, gorilla, dalam ilmu primata termasuk sebangsa kera (apes), satu keturunan dengan kera monyet (monkey). Keturunan tertinggi dari bangsa ini adalah simpanse. Gorilla berada di bawah simpanse. Sedangkan monyet merupakan keturunan terendah. Monyet atau kera menjadi simbol yang mewakili sesuatu yang buruk. Buktinya, iklan ijazah palsu yang dirilis direktorat pendidikan menggunakan monyet untuk menyampaikan sesuatu perbuatan yang paling buruk.

Menurut Nia Tresna, Advertising & Communications Manager PT Kushendy Asribuana, persepsi yang muncul sangat tergantung kepada cara orang memandangnya. Tetapi, lebih dari setahun, sejak iklan itu diluncurkan, tidak ada feed back yang negatif terhadap merek Lee Cooper. Buktinya, papar Nia, penjualan Lee Cooper mengalami peningkatan. Dia menjelaskan, ketika iklan itu publish di media dan di in-store, tanggapan yang muncul sangat positif. Konsumen di berbagai otlet Lee Cooper justru banyak yang bilang, “Masak… kita kalah dengan Gorilla”. “Dari situ kan sebenarnya tanggapan konsumen positif,” kata Nia.
Konsumen tidak meresponnya dengan persepsi yang buruk, menurut Nia, karena tampilan gambar tidak memberikan rasa “nyeleneh” terhadap manusia. Lagipula, konsep yang ditampilkan dari iklan tersebut adalah fun. Iklan-iklan yang dibuat oleh prinsipal di London itu, bebernya, termasuk gorilla berpatokan kepada konsep yang bersifat humoris, fun, dan tidak product oriented. Justru sebaliknya, iklan tersebut sangat diapresiasi oleh konsumen lantaran binatang ini menggambarkan sesuatu yang lucu dan tidak menakutkan. Tambahan, konsep iklan ini linear dengan program Lee Cooper yang sering bekerja sama dengan lembaga WWF (World Wild Fund).

Iklan ini pun diakui Nia sebagai cara untuk menarik persepsi konsumen, sejauh mana responnya terhadap brand image yang dibawakan oleh Lee Cooper. Dari sisi awareness, iklan tersebut diakui Nia paling menonjol dan paling atraktif. “Iklan gorilla itu adalah salah satu strategi kita men-track customer. Sejauh mana respon customer dengan image yang kita bawakan,” ujarnya.

Uji Kekuatan
Dalam pandangan Albert Widjaja, Lee Cooper ingin bermain-main dengan simbol gorilla untuk menunjukkan sebuah pesan bahwa brand tersebut sangat kuat. Selain itu, pesan ini juga ingin menunjukkan bahwa Lee Cooper hebat. “Biasanya yang gitu-gitu untuk menunjukkan bahwa brand tersebut sangat kuat,” paparnya.
Gorilla, tutur Albert, merupakan binatang langka yang dilindungi, yang tidak sama dengan monyet. Dari situ pun muncul persepsi bahwa pemilik merek ingin menunjukkan Lee Cooper sangat survive.

Albert berspekulasi, dengan iklan tresebut, Lee Cooper berarti tidak menarget selebriti, tetapi orang-orang “jalanan”. Alasannya, gorilla menunjukkan kehidupan yang keras sebagai binatang langka yang dilindungi. “Ini punya kesan unik bahwa sasaran segmen pasar yang dituju Lee Cooper adalah pasar yang keras, bukan kelompok selebriti,” jelasnya.

Meski gorilla berbeda dengan monyet, bermain dengan simbol seperti ini rentan dimanfaatkan oleh pesaing. Apalagi untuk produk fesyen. Albert punya kekhawatiran,  pesaing sangat gampang menggeser persepsi terhadap Lee Cooper, bahwa Lee Cooper itu monyet.

Tetapi, sejumlah kekhawatiran tadi tidak terbukti. Lee Cooper tidak menangguk image buruk dari menggunakan gorilla. Nia mengakui, gorilla yang digunakan dalam iklannya beberapa waktu lalu itu lebih diarahkan kepada segmen pria. Menurutnya, gorilla melambangkan kegagahan dan macho. Sedangkan untuk segmen perempuan, Lee Cooper memilih rabbit (kelinci) sebagai simbolnya.

Merek yang masuk ke Indonesia tahun 1990 itu, kini menguasai sekitar 30 persen market share untuk pasar jins. Lee Cooper menyasar segmen pasar utama yang berumur 18-24 tahun. Tetapi juga menyasar secondary target berusia 24-35 tahun. Sasaran pasar ini adalah mereka yang memiliki lifestyle “modern urban”.

Kelompok pasar yang demikian dikenal memiliki loyalitas yang sangat tinggi. Dari data yang dipaparkan Nia, loyal customer Lee Cooper mencapai 4.000 orang. Hal itu terlihat dari database pelanggan yang tergabung dalam Lee Cooper Zap Card.

Sekarang, komunikasi yang diusung Lee Cooper lebih mengarah kepada product oriented. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang lebih mengedepankan unsur humor dan fun, kini Lee Cooper menawarkan benefit kepada pemakainya bahwa memakai celana Lee Cooper itu (maaf lagi) pantat yang tadinya tepos bisa kelihatan berisi. (Tajwini Jahari dan Rofian Akbar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar